Mengapa kamu marah?
Ingat amarah adalah bara api dari syetan. Marah
adalah salahsatu penyebab utama kesedihan, ingatlah marah adalah musuh
terbesarmu, maka jangan kamu turuti dia. Dale Carnegie dalam bukunya Tinggalkan Gelisah bercerita bahwa dia
pernah melihat seseorang yang sedang marah; orang itu mendidih seperti direbus.
Marah boleh saja dilakukan tetapi jangan sampai dilampiaskan dengan cara yang
salah dan merusak, yang akhirnya justru berujung sebuah penyesalan. Marah
dengan segala takdir yang terjadi kepada dirimu bahkan tidak sedikit pun bisa
merubah keadaan tapi justru sebaliknya malah semakin menambah kesedihan.
Ikhlaskan Amarahmu
Pernah ada seorang gadis muda curhat kepada saya, bahwa Dia sangat
marah dan kecewa dengan seseorang. Laki-laki yang sudah memberikan sebuah harapan,
harapan yang berujung berakhir penuh kepalsuan. Ia Adalah gadis muda yang
selalu ceria, bahagia, murah senyum dan berakhlak baik. Banyak kaum adam yang
mencoba mendekatinya, tapi ia tolak dengan alasan karena ada laki-laki yang
sudah memberikan harapan dan Ia pun memang menyukai laki-laki itu. Memang tidak
ada komitmen serius dari laki-laki itu, hanya sebuah tanda-tanda harapan bahwa
seolah laki-laki itu pun sama-sama berharap bisa bersama gadis muda itu. Selalu
memberikan motivasi, kata-kata penyemangat dan ya begitulah bagaimana laki-laki
yang memberikan harapan pada seorang perempuan.
Tetapi setelah beberapa tahun berlalu bahkan gadis muda itu rela
menolak laki-laki lain yang mencoba mendekatinya, nyatanya laki-laki yang
selama ini memberikan harapan padanya justru menikahi wanita lain. Sakit,
sangat sakit hati gadis muda itu seakan dihianati dan ditipu oleh sikap manis
laki-laki itu. Ia ingin marah tapi pada siapa, pada laki-laki itu? Tapi dia
bukan siapa-siapa untuknya, karena tidak adanya komitmen kuat di awalnya
sehingga Ia pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Gadis muda ini dan keluarga
laki-laki itu sangat dekat, bahkan dengan orangtua laki-laki itu pun Ia begitu
kenal. Bahkan ketika orangtua laki-laki itu meminta bantuan pada gadis muda itu
untuk membantu persiapan pernikahan anaknya, gadis itu mau tidak mau dengan
rela mengenyampingkan egonya demi menjaga silaturahmi dengan orangtua laki-laki
itu, bukan tidak mengetahui persoalan anatara anak laki-lakinya dan gadis muda
itu, orangtua laki-laki itu hanya ingin tetap menenangkan dan menjaga hubungan
dengan gadis muda itu, "Teh jangan lihat Si Aanya, lihat saja Ibu.
Bantu Ibu ya, karena tidak ada lagi yang bisa membantu Ibu selain kamu,"
ucap Ibu laki-laki itu.
Gadis muda itu bukan tidak sedih, bukan pula dia tidak marah.
Banyak kekecewaan dan kepedihan di hatinya. Namun dia memilih untuk memaafkan
dan mengikhlaskan rasa marah dan kecewanya. Dia sadar apa yang terjadi pada
dirinya sudah menjadi ketentuan terbaik untuknya. Kini gadis muda itu bertekad
untuk mengenyampingkan masalah cintanya, Ia memilih untuk lebih fokus saja
dalam mengejar mimpi-mimpinya. Terus merasa bersedih dan marah dengan keadaan
justru malah membuat hatinya semakin gelisah dan tak tenang.
Akankah ketika seseorang melampiaskan
amarah dengan membabi-buta, dalam bentuk membalas dendam (mengikuti syahwatnya)
kepada mereka yang telah menyakiti hati akan dapat menyembuhkan rasa marah dan
rasa kecewanya? Tentu tidak! Justru itu bisa membuat seseorang jauh terlibat
masalah baru yang mungkin lebih besar dari masalah sebelumnya dan membuat
konektivitas dengan Allah menjadi hancur. Sebab maksiat dan dosa membuat Allah
justru memurkainya.
Rasa kecewa yang terus menerus
diperbesar dengan kemarahan dan ketidakterimaan, akan menghantarkan orang itu
pada jalan hidup yang gelap. Marah karena ia merasa menjadi korban atas
perilaku-perilaku menyakitkan dari mereka yang telah berbuat buruk pada
dirinya. Tetapi sebaliknya ketika kita bisa meredam amarah dan melampiaskan
rasa marah yang begitu membuncah dengan hati dan pikiran yang terbuka, maka
ketenangan dan kebahagiaanlah yang akan dirasakan.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Barangsiapa yang menahan
kemarahannya padahal dia mampu untuk melampiaskannya maka Allah Ta’ala akan
memanggilnya (membanggakannya) pada hari kiamat di hadapan semua manusia sampai
(kemudian) Allah membiarkannya memilih bidadari bermata jeli yang disukainya” (HR Abu Dawud no. 4777, at-Tirmidzi no. 2021, Ibnu Majah no. 4186
dan Ahmad 3/440)
Sungguh hanya kemuliaanlah yang akan didapatkan ketika seseorang
bisa menahan amarah agar tidak terlampiaskan dengan cara yang salah dan
merugikan diri sendiri. begitu banyak manfaat ketika seseorang bisa bersabar
dalam menahan amarahnya, padahal Dia bisa kapan saja melampiaskan amarahnya
seketika itu.
"Yakinlah, ada
sesuatu yang menantimu setelah sekian banyak kesabaran (yang kau jalani), yang
akan membuatmu terpana hingga kau lupa betapa pedihnya rasa sakit." (Ali bin
Abi Thalib)
Terkadang manusia bingung dan hilang arah dalam melampiaskan amarah
karena kekecewaan yang mendalam akan takdir hidup. Terus merasa semakin
terpuruk dan merasa paling terkucilkan dalam kehidupan. Merasa diri paling
terdzalimi, dengan ujian yang sedang dijalani. Hingga sampai pada kondisi di
mana ia memang betul-betul seperti bukan dirinya yang utuh, yang sebenarnya.
kondisi di mana ia bersikap di luar kontrol. Adanya dorongan untuk lari dari
kenyataan, dorongan untuk menutupi kesalahan diri dengan melakukan kebohongan,
atau bahkan adanya dorongan untuk melakukan kamuflase atau kepura-puraan.
Dalam bukunya Al Farj ba'da Asy-Syiddah', At-Tanukhi berkata:
"Sesungguhnya kesulitan apa saja, betapapun besarnya, dan betapapun
lamanya, tidak akan selamanya dialami seseorang dan tidak akan terus-terusan
menghimpitnya. Manakala telah begitu kuat menghimpit dan terasa sangat ketat,
itu adalah pertanda jalan keluar telah dekat; dan kebaikan justru datang di
puncak kesulitan." Pernahkan kalian berkata seperti ini, "Mengapa harus aku yang mengalami ini
Ya Allah?" Ketika mengalami sebuah ujian atau musibah, yakinkanlah
pada diri bahwa Allah tidak mungkin salah menakdirkan. Kamulah yang telah Allah
pilih untuk merasakan musibah tersebut. "Tapi kenapa harus aku. Bukankah
aku menjalankan ketaatan kepada Allah, aku Shalat, aku menutup aurat, aku juga
beribadah terus kepada Allah?" Jawabannya karena Allah memang
memilihmu. Musibah itu sudah diizinkan untuk hinggap mengenai dirimu bukan
orang lain. Seperti yang Allah Ta'ala jelaskan dalam sebuah Firman-Nya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّ مِنْ أَزْوَٰجِكُمْ
وَأَوْلَٰدِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَٱحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِن تَعْفُوا۟ وَتَصْفَحُوا۟
وَتَغْفِرُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Yā
ayyuhallażīna āmanū inna min azwājikum wa aulādikum 'aduwwal lakum faḥżarụhum,
wa in ta'fụ wa taṣfaḥụ wa tagfirụ fa innallāha gafụrur raḥīm
Artinya:
"Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin
Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi
petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." QS.
AtTaghabun:11.
Alih-alih marah dengan dengan takdir Allah, cobalah untuk kamu
pahami bahwa ujian itu merupakan isyarat Allah sayang kepada hambaNya. Karena
seringkali musibah efektif untuk menyadarkan diri seorang manusia akan hal yang
perlu diperbaiki dalam hidupnya. Mungkin ada kedzaliman pada dirinya terhadap
orang lain. Ketika Allah memilih kita untuk menerima ujian atau musibah itu,
maka pahami isyarat kasih sayang Allah kepadamu. Allah sedang mendidik dirimu.
Allah sedang merencanakan hal terbaik untuk hidupmu untuk beberapa waktu
mendatang, Dia sedang mempersiapkan dirimu menjadi orang terbaik, menjadi
teladan bagi banyak orang. Hanya saja kamu harus bisa menjalani ujian tersebut
dengan baik.
Dari Anas Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wa Sallam bersabda: “Barangsiapa mampu
menahan amarahnya Allah akan menahan dirinya dari adzab-Nya.” Riwayat
Thabrani dalam kitab al-Ausath.
Bagaimanakah Mengikhlaskan Amarahmu?
Dalam kitabnya ad-Du'aa Minal
Kitab was-Sunnah, Syaikh Sa'id Ali bin Wahaf al-Qathany menyebutkan ada du
acara agar kita bisa meredam amarah/marah. Pertama
al Wiqayah, yakni penjagaan marah. Yaitu dengan cara menjauhkan segala hal
yang menyebabkan datangnya marah. Misalnya; al kibr (sombong), bangga diri,
merendahkan orang lain, semangat untuk mencela, dan gurauan yang tidak pada
tempatnya.
Kedua al 'Ilaaj, yakni pengobatan marah. Jika marah telah berlanjut, hendaklah
kamu melakukan cara praktis dengan:
1. Membaca al Isti'azdah,
Pada suatu hari
aku duduk bersama-sama Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam sedang dua orang
lelaki sedang saling mengeluarkan kata-kata kotor satu dan lainnya. Salah
seorang daripadanya telah merah mukanya dan tegang pula urat lehernya. Lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Sesungguhnya aku tahu satu perkataan sekiranya dibaca tentu hilang
rasa marahnya jika sekiranya ia mau membaca, ‘A’udzubillahi minas-syaitani’
(Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan), niscaya hilang kemarahan yang
dialaminya.” (HR Bukhari, no. 3282)
Juga ada hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
إِذَا غَضِبَ الرَّجُلُ فَقَالَ أَعُوْذُ بِاللهِ ، سَكَنَ غَضْبُهُ
Idzaa ghadliba fa qaala a'udzuu billahi, sakana ghadlbuhu
Artinya: Jika seseorang dalam keadaan marah,
lantas ia ucapkan, ‘A’udzu billah (Aku meminta perlindungan kepada Allah)’,
maka redamlah marahnya.” (HR. As-Sahmi dalam Tarikh Jarjan, 252.
Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 1376)
Allah ta'ala berfirman:
وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ
ٱلشَّيْطَٰنِ نَزْغٌ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ ۚ إِنَّهُۥ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Wa immā yanzagannaka minasy-syaiṭāni
nazgun fasta'iż billāh, innahụ samī'un 'alīm
Artinya:
“Dan jika setan datang menggodamu, maka berlindunglah kepada Allah.
Sesungguhnya Dia Maha Mendengar Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf: 200)
2.
Diam
Karena yang namanya marah itu
jika keluar bisa jadi keluar kata-kata yang tidak Allah ridhai. Ada yang marah keluar
kata-kata kufur, ada yang marah keluar
kalimat mencaci maki, ada yang marah keluar
kalimat laknat, ada yang marah keluar
kalimat cerai hingga hal-hal sekitarnya pun bisa hancur. Kalau seseorang
memaksa dirinya untuk diam ketika akan marah,
hal-hal yang rusak tadi tidak akan terjadi.
Ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
وَ إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ
Wa idza ghadliba ahadukum ahadukum falyaskut
Artinya: “Jika
salah seorang di antara kalian marah,
diamlah.” (HR. Ahmad, 1: 239. Syaikh Syu’aib
Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan lighairihi).
3.
Berganti posisi
Dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
“Bila
salah satu di antara kalian marah saat
berdiri, maka duduklah. Jika marahnya telah hilang (maka sudah cukup). Namun
jika tidak lenyap pula maka berbaringlah.”
(HR. Abu Daud, no. 4782. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini
shahih).
4.
Mengambil air wudhu
Dari Athiyyah As-Sa’di radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْغَضَبَ مِنْ الشَّيْطَانِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنْ
النَّارِ وَإِنَّمَا تُطْفَأُ النَّارُ بِالْمَاءِ فَإِذَا غَ ضِبَ أَحَ دُكُمْ
فَلْيَتَوَضَّأْ
Innalghadaba
mingsyaitaani wainnasyaitaana khulikha minnaari wainnamaa tutfaannaaru bilmaa'i
faidaa ghadiba 'ahadukum falyatawaddhaa.
Artinya: “Sesungguhnya
amarah itu dari setan dan setan diciptakan dari api. Api akan padam dengan air.
Apabila salah seorang dari kalian marah,
hendaknya berwudhu.” (HR. Abu Daud, no. 4784. Al-Hafizh
Abu Thahir mengatakan bahwa
5. Ingat wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
janji beliau
Dari Mu’adz radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
وَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ كَفَّ غَضَبَهُ
كَفَّ اَللَّهُ عَنْهُ عَذَابَهُ ) أَخْرَجَهُ اَلطَّبَرَانِيُّ فِي اَلْأَوْسَطِ.
وَلَهُ شَاهِدٌ:
مِنْ حَدِيثِ اِبْنِ عُمَرَ عِنْدَ اِبْنِ أَبِي اَلدُّنْيَا.
Artinya: “Barangsiapa menahan amarahnya padahal mampu meluapkannya, Allah
akan memanggilnya di hadapan para makhluk pada hari Kiamat untuk memberinya
pilihan bidadari yang ia inginkan.” (HR. Abu Daud,
no. 4777; Ibnu Majah, no. 4186. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits
ini sanadnya hasan)
Dari Abu Ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Wahai
Rasulullah tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkan dalam
surga.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda:
لَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ
Laataghdhab walakaljannahtu
Artinya: “Janganlah engkau marah,
maka bagimu surga.” (HR. Thabrani dalam Al-Kabir.
Marah karena Allah akan terbingkai
dengan akhlak yang luhur dan senantiasa meletakkan permasalahan secara
proporsional.
(Ahmad Humaedi)
Hukum Marah
dalam Islam
1. Wajib
Ketika kita melihat perbuatan
maksiat atau dosa tepat dihadapan kita. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ
يَستَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ
الإِيْمَانِ
Man ra-a minkum munkaran falyughayyirhu bi yadihi, fa
in lam yastathi' fa bi lisaanihi, fa in lam yastathi' fa bi qolbihi, wa
dzaalika adl'aful iimaan.
Artinya: Apabila kalian melihat kemungkaran maka ubahlah dengan
tangan/kekuasaanya, apabila tidak mampu, maka ubahlah dengan ucapan/lisan
(nasihat), apabila tidak mampu, maka ubahlah dengan hati. Dan yang terakhir,
inilah wujud serendah-rendahnya iman. (HR. Muslim)
2.
Sunnah
Contohnya adalah ketika Rasulullah SAW marah pada sahabat yang
memanjangkan bacaan surah pada saat shalat. Adapun kemarahan Rasulullah
tersebut bukan dalam hal yang maksiat, karena dimaksudkan jika seorang imam
dalam shalat memanjangkan bacaan suratnya tapi tidak disukai oleh makmumnya maka
akan menjadi haram (bacaan panjang tersebut).
3. Mubah
Mubah hukumnya boleh juga dilakukan. Dalilnya adalah seperti yang
pernah terjadi pada Abu Bakar RA ketika suatu ketika beliau marah pada anaknya
karena kebetulan tamu yang datang ke rumah belum diberik makan padahal tamu
tersebut sengaja menunggu Abu Bakar datang dulu baru makan. Abu Bakar marah
akrena anaknya, Abdurrahman, sempat bersembunyi karena takut dimarahi.
4. Makruh
Merupakan perbuatan yang apabila kita lakukan tidak berdosa, namun
jika ditinggalkan akan mendapat pahala. Contohnya; ketika Sa’ad bertanya pada
Rasulullah perihal seumpama ada lelaki yang berzina dengan istrinya, maka ia
akan membunuh lelaki itu sebelum mendatangkan empat orang saksi. Marahnya Sa’ad
ini adalah makruh karena ucapannya barusan hanyalah pengandaian.
5. Haram
Adalah kemarahan yang disertai
dengan caci maki, hinaan, dan kata-kata yang keji. Wallahu'alam